Sabtu, 03 Desember 2016

NGEPIL

PAGI DUA SIANG TIGA

"Putus ya?" sapaku pada gadis kecil berjilbab utih ketika jam istirahat. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Tidak menghiraukan kehadiranku yang baru keluar dari kelas.
"Patah satu tumbuh tiga. Gitu lo, yang semangat!" candaku menggoda. Pandangannya tertuju padaku

"Enggak Pak, nggak pacar-pacaran!"
"Ya pacar beneran? Mosok pacar-pacaran? aku masih berusaha memancing senumnya. Akhirnya dia pun tersenum walau kelihatan hambar.
"Tadi pagi minum berapa butir?" tanyaku sok tahu. Kuajak dia duduk di bawah pohon di sebelah kelas. Dia terperanjat.
"Kok Bapak tahu?"

"Kalau sudah minum nggak ingat kesedihan ya?" Marah hilang. Kecewa sirna. Rasa lapar bisa ditahan." saya nyerocos sendiri berusaha memancing dia.
"Ya pak, bener itu. Enak kalau sudah minum. Diam saa nggak iungat apa apa. Lapar juga enggak."
"Tadi pagi minum berapa?"
"Dua Pak."
"Sorenya?"
" Siang tiga Pak. Malam dua."

Astaghfirulah. Muridku yang berjilbab ini. Sudah sejauh itu. Terpakui mendengar pengakuannya. Tak kusangka pemahamanku pada mereka yang masih ingusan ternyata sudah sejauh ini.
Dia bercerita dengan sitilah2 yang tidak kumengerti. Istilah pergaulannya bersama teman temannya. Solidaritasnya untuk saling menjaga.
Aku?

BAPAKKU SIAPA

JANGAN MENANYAKAN BAPAK SAYA

"Jangan tanya tentang bapak saya!" nadanya tinggi. Obrolan yang semula disertai canda tawa berubah. Tak ada senyum lagi. Padaha pertanyaan saya sederhana.

"Bapak kandungmu sekarang dimana?"

".Saya nggak pernah nanya siapa bapak saya, apa pekerjaanya, sekarang dimana. Kok Bapak eduli pada dia?" wajahnya emendam kemarahan.

Pertanyaan saya ternyata menggugah masa lalu. Membangkitkan kemarahan yang terendam.

Pertanyaan itu kusamoaikan, karena setahu saya anak itu diasuh budenya yang sekarang menjadi juru masa di salah satu industri rumah tangga.

"Sejak kecil ibu saya nggak eduli pada saya. Apa salah saya sehngga memebenci aya? Apa dosa saya?" pandangannya menerawang jauh. Keberadaan saya seperti tak berarti saat itu.

"Tetangga saya pernah cerita. Ibu saya malu melahirkn saya, karena yang menghamili ibuk saya tidak bertanggung jawab."
Saya diam. Dia diam menunduk

MARAH

MARAH TIDAK MAU PULANG

"Nduk, tahu nggak bagaimana perasaan saya saat ini?" tanyaku pada gadis kecil itu.
"Kenapa Pak?" nada bicaranya enteng.
"Saya sedih nduk. Kamu cantuk, masih siswa SMP. Biasanya berjilbab, kali ini jilbabmu kemana?"
"Heheh giru aja dipikir Pak. Ibuk saya saja nggak mikir saya. Kok Bapak ikut sedih."

Empat hari tidak pulang ke rumah. Tidur di rumah temannya. Pakaian yang dipakai pun dipinjami temannya. Kebetulannya temannya tidak berjilbab sehungga sejak itu dia pun tidak berjilbab. Rambutnya hanya diikat dengan karet gelang yang biasa digunakan untuk pengikat nasi bungkus.

"Saya memang sayah Pak. Pulang jalan malam jam 21 30. Tai caranya jangan begitu. Mosok saya dibaeti sapu sambil marah-marah. Saya kan malu didengar tettangga.
"tapi kamu tahu kan bahwa ibumu sangat sayang adamu? kawatir terjadi apa apa dengan anak gadisnya?" tanyaku sambil menatap wajahnya. tak ada polesan bedak seperti biasanya.

"Ya Pak. Tapi lebih enang dinasehati saja. Nggak usah dipukul. Kok saya disamakan dengan sapinya bapak di kandang. kalau nggak nurut dicambuk. Saya ini anaknya, manusia, bukan binatang. Bapak tahu perasaan saya kan?"

Kurayu kunasehati agar dia mau pulang.
"Kalau Bapak maksa saya pulang, saya lebih baik tidak masuk. Saya nggak akan sekolah. saya tetep ingin sekolah pak, meskiun saya pergi dari rumah."