Sabtu, 03 Desember 2016

MARAH

MARAH TIDAK MAU PULANG

"Nduk, tahu nggak bagaimana perasaan saya saat ini?" tanyaku pada gadis kecil itu.
"Kenapa Pak?" nada bicaranya enteng.
"Saya sedih nduk. Kamu cantuk, masih siswa SMP. Biasanya berjilbab, kali ini jilbabmu kemana?"
"Heheh giru aja dipikir Pak. Ibuk saya saja nggak mikir saya. Kok Bapak ikut sedih."

Empat hari tidak pulang ke rumah. Tidur di rumah temannya. Pakaian yang dipakai pun dipinjami temannya. Kebetulannya temannya tidak berjilbab sehungga sejak itu dia pun tidak berjilbab. Rambutnya hanya diikat dengan karet gelang yang biasa digunakan untuk pengikat nasi bungkus.

"Saya memang sayah Pak. Pulang jalan malam jam 21 30. Tai caranya jangan begitu. Mosok saya dibaeti sapu sambil marah-marah. Saya kan malu didengar tettangga.
"tapi kamu tahu kan bahwa ibumu sangat sayang adamu? kawatir terjadi apa apa dengan anak gadisnya?" tanyaku sambil menatap wajahnya. tak ada polesan bedak seperti biasanya.

"Ya Pak. Tapi lebih enang dinasehati saja. Nggak usah dipukul. Kok saya disamakan dengan sapinya bapak di kandang. kalau nggak nurut dicambuk. Saya ini anaknya, manusia, bukan binatang. Bapak tahu perasaan saya kan?"

Kurayu kunasehati agar dia mau pulang.
"Kalau Bapak maksa saya pulang, saya lebih baik tidak masuk. Saya nggak akan sekolah. saya tetep ingin sekolah pak, meskiun saya pergi dari rumah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar